Aku tidak pernah bisa mengerti sistem apa yang menautkan antara
tubuh yang demam, keresahan, dan mimpi. Setiap kali aku dalam resah yang
sangat, atau tubuh yang demam, ia selalu menyambangiku dalam mimpi. Ia selalu
datang bersama seekor kupu – kupu bersayap gelap.
Kali ini aku dibawa pada bangku
murung yang lelah. Taman liar dengan aroma
semak yang menyengat. Cahaya matahari yang terhalang kabut. Seroombongan kupu –
kupu bersayap gelap mengitari sepasang kakinya yang terbungkus celana dan
sepatu hitam. Seekor kupu – kupu hinggap di ujung sepatunya, dimana seutas tali
sepatu yang juga juga berwarna hitam terjuntai lunglai. Tiba – tiba kupu – kupu
mengejang, seperti ditetak ajal yang tajam. Menggelepar menebarkan serbuk hitam
dari sayapnya yang mencoba mengusir kematian. Sia – sia. Terakhir kali, sebelum
kematian melunasi hidupnya, dari mulutnya, ia melemparkan jeritan yang nyaring
melengking.
Menusuk cepat ke gendang telingaku, merambat cepat masuk
ke kepelaku. Sebuah ledakan menggema. Panas dan ganas.
Aku terbangun.. Sunyi. Masih kulihat kotak obat yang
terburai botol – botol besar air mineral, botol – botol kecil tonikum , piring
berisi makanan yang hanya kusentuh sendoknya, kotaknya – kotak roti dan asbak
yang puntung-puntungnya masih panjang. Disampingku beberapa buku puisi dan
kitab suci kusut tertindih tubuhku. Aku hendak bangkit, namun tiba – tiba
seekor kupu – kupu bersayap gelap berada tepat di depan hidungku. Di sayapnya
yang gelap dan mengepak perlahan, aku menangkap lamat ia berada disana,
tergambar di dalam sebuah bingkai foto. Kepakan sayap itu semakin lama semakin
cepat, melempar gambar – gambarnya masuk ke mataku. Setiap kepakan sayapnya
menebarkan serbuk hitam. Sebagian serbuk itu terhisap oleh napasku, masuk ke dada,
menyebarkan rasa panas dan pedih. Sebagian serbuknya menaburi wajahku, masuk ke
mataku. Semua memberi rasa yang amat sangat panas dan pedih. Aku berteriak
kencang.Tapi rasanya suara itu tidak keluar dari mulutku, malah masuk kembali
ke rongga dada. Aku merasa tubuhku mempunyai lubang yang gelap, dalam dan
pengap. Aku mengejang seperti kupu – kupu yang hinggap di ujung sepatu. Aku
tersenggal, seperti habis napas. Mungkin aku sedang mengetuk pintu kematianku
sendiri. Kematian ternyata tidak dicabutnya sesuatu dari tubuh kita. Tapi
sesuatu yang dimanpaatkan ke tubuh kita. Rapat, padat, panas.
Dan tiba – tiba aku berada pada ruang yang berderang.
Orang – orang berpasang – pasangan dengan baju dan gaun yang berwarna menyala.
Musik berdegup hingar. Aku melonggarkan dasi yang melilit leherku, membuka
kancing bajuku bagian atas. Tenggorokanku terasa kering. Semua orang memegang
gelas minuman yang indah dengan berbagai warna yang merangsang. Aku berjalan seperti digiring oleh sesuatu
di belakang tengkukku. Melewati orang – orang yang berdiri dan bergeremang. Melewati meja – meja yang memisahkan dua orang yang saling berhadap
– hadapan dengan tatapan mata mesra. Aku terus bergerak, berjalan,
tenggorokan-ku makin panas, langkahku mulai goyah dan lututku semakin gemetar.
Di salah satu meja, aku melihatnya memakai gaun berwarna
merah hati. Rambutnya yang pendek membuatku melihat tengkuknya lembut. Disana,
aku merasa pernah bersemayam, aku merasa pernah bersemayam dalam damai. Aku
mendekatinya. Ia diam. Bergeming. Agak menunduk dengan tangan kanan memegang
gelas minuman berisi cairan sewarna gaun yang dikenakannya. Aku duduk di kursi
menghadapinya. Aku melihat leher jenjangnya, aku seperti pernah tergeletak dan
tiduran dalam rasa malas yang menentramkan di lehernya. Leher yang lebih kupilih
untuk mengistirahatkan diri dibanding segala peraduan yang tersedia. Ia tetap
menunduk.
Kembali aku diserang oleh rasa kering di tenggorokanku.
Aku mengambil botol minuman diatas meja dan cepat kutenggak. Tapi tidak ada
cairan yang keluar dari lubang botol itu dan masuk ke tubuhku. Aku panik. Aku
menyahut gelas yang dipegangnya. Ia bergeming. Gelas dan tangannya seperti
terpasung diatas meja yang gilap itu. Aku berusaha keras merebut gelasnya. Tapi
tiba – tiba seekor kupu – kupu bersayap gelap terbang mengitari kepalanya yang
tertunduk. Kupu – kupu itu masih menebarkan serbuk – serbuk hitam yang
menyakitkan. Aku bertahan dengan semakin menggenggam erat tangannya yang sedang
menggenggam erat gelas.
Kupu – kupu itu akhirnya hinggap di belahan rambutnya.
Kupu – kupu itu diam seperti memanjatkan doa. Tiba – tiba suasana menjadi sepi. Tidak ada lagi
suara musik yang hingar, tidak ada lagi suara bergeremang. Aku merasa semua
mata memandang kami. Aku merasa mereka mendekat, tanpa suara mengitari kami.
Aku merasa bahwa aku, dia, dan kupu – kupu yang hinggap di belahan rambutnya
menjelma menjadi sebuah lukisan indah yang membuat mereka semua tertegun. Aku
merapatkan genggamanku ke tangannya yang sedang menggenggam sebuah gelas yang
berisi cairan sewarna gaunnya. Semakin erat, semakin
erat. Dan gelas itu meledak. Serpihan gelas itu menancap pedih di wajahku. Kupu
– kupu itu mengejang. Kaku. Lalu jatuh diatas meja. Orang – orang kembali
bergeremang. Musik kembali menghentak. Ia tetap menunduk. Tubuhku semakin
panas. Kali ini mengembang, melar, jauh keluar dari ruang seperti balon yang
ditiup, seperti kosmos yang terus memuai. Ada ledakan lagi. Sangat keras. Dari tubuhku. Dari
ruang itu.
Aku melihat ruang yang berantakan. Kini aku yakin, bahwa
aku sudah benar – benar terjaga dari mimpi yang menyesakkan itu. Meja dan kursi
jumpalitan. Gelas minuman tersebar. Piring makan memuntahkan isisnya yang belum
kusentuh. Aku sudah ada di
lantai. Semua sudah menyempurnakan diri di lantai. Seprei dan selimut basah
terkena ceceran kotoran dan cairan yang tumpah dari botol, gelas, dan berbau
cairan tonikum. Aku menyahut kitab suci yang lingsut, memebukanya pada halaman
yang telah kutandai dengan tangan dan hati. Merapal dan membaca doa-doa yang
ada didalamnya. Tangan kiriku mengambil botol yang masih berisi air mineral,
menenggaknya, melanjutkan membaca doa, menumpahkan sisa air mineral di
kepalaku. Dunia kenangan yang kejam.
Aku bangkit. Menyambar telpon, berurutan, agen
perjalanan, partner kerjaku dan Mas Hardi. Telpon kututup. Meja telepon basah.
Kubuka pintu kamar mandi, memaksa tubuhku diguyur dengan air. Perih disana –
sini. Tapi aku harus kuat. Harus. Toh kejadian seperti ini telah kulewatkan
selama bertahun – tahun.
Mendatangiku. Menikam ngilu. Memaksaku untuk menyerah
pada hidup Memaksaku untuk mengaku kalah pada masa lalu. Beberapa potong
pakaian kusambar dan kumasukkan dalam tas kecil. Kutelpon taksi. Kunyalakan
salah satu puntung rokok yang tergeletak digulung abu yang mengotori lantaiku.
Kututup pintu. Menguncinya dari luar. Mulutku terasa hambar dan panas, juga
asin oleh darah yang sesekali masih keluar. Entah karena apa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar