Laman

Kamis, 15 Maret 2012

KUPU-KUPU BERSAYAP GELAP

' expr:id='"post-body-" + data:post.id'>
Aku tidak pernah bisa mengerti sistem apa yang menautkan antara tubuh yang demam, keresahan, dan mimpi. Setiap kali aku dalam resah yang sangat, atau tubuh yang demam, ia selalu menyambangiku dalam mimpi. Ia selalu datang bersama seekor kupu – kupu bersayap gelap.
Kali ini aku dibawa pada bangku murung yang lelah. Taman liar dengan aroma semak yang menyengat. Cahaya matahari yang terhalang kabut. Seroombongan kupu – kupu bersayap gelap mengitari sepasang kakinya yang terbungkus celana dan sepatu hitam. Seekor kupu – kupu hinggap di ujung sepatunya, dimana seutas tali sepatu yang juga juga berwarna hitam terjuntai lunglai. Tiba – tiba kupu – kupu mengejang, seperti ditetak ajal yang tajam. Menggelepar menebarkan serbuk hitam dari sayapnya yang mencoba mengusir kematian. Sia – sia. Terakhir kali, sebelum kematian melunasi hidupnya, dari mulutnya, ia melemparkan jeritan yang nyaring melengking.
Menusuk cepat ke gendang telingaku, merambat cepat masuk ke kepelaku. Sebuah ledakan menggema. Panas dan ganas.
Aku terbangun.. Sunyi. Masih kulihat kotak obat yang terburai botol – botol besar air mineral, botol – botol kecil tonikum , piring berisi makanan yang hanya kusentuh sendoknya, kotaknya – kotak roti dan asbak yang puntung-puntungnya masih panjang. Disampingku beberapa buku puisi dan kitab suci kusut tertindih tubuhku. Aku hendak bangkit, namun tiba – tiba seekor kupu – kupu bersayap gelap berada tepat di depan hidungku. Di sayapnya yang gelap dan mengepak perlahan, aku menangkap lamat ia berada disana, tergambar di dalam sebuah bingkai foto. Kepakan sayap itu semakin lama semakin cepat, melempar gambar – gambarnya masuk ke mataku. Setiap kepakan sayapnya menebarkan serbuk hitam. Sebagian serbuk itu terhisap oleh napasku, masuk ke dada, menyebarkan rasa panas dan pedih. Sebagian serbuknya menaburi wajahku, masuk ke mataku. Semua memberi rasa yang amat sangat panas dan pedih. Aku berteriak kencang.Tapi rasanya suara itu tidak keluar dari mulutku, malah masuk kembali ke rongga dada. Aku merasa tubuhku mempunyai lubang yang gelap, dalam dan pengap. Aku mengejang seperti kupu – kupu yang hinggap di ujung sepatu. Aku tersenggal, seperti habis napas. Mungkin aku sedang mengetuk pintu kematianku sendiri. Kematian ternyata tidak dicabutnya sesuatu dari tubuh kita. Tapi sesuatu yang dimanpaatkan ke tubuh kita. Rapat, padat, panas.
Dan tiba – tiba aku berada pada ruang yang berderang. Orang – orang berpasang – pasangan dengan baju dan gaun yang berwarna menyala. Musik berdegup hingar. Aku melonggarkan dasi yang melilit leherku, membuka kancing bajuku bagian atas. Tenggorokanku terasa kering. Semua orang memegang gelas minuman yang indah dengan berbagai warna yang merangsang. Aku berjalan seperti digiring oleh sesuatu di belakang tengkukku. Melewati orang – orang yang berdiri dan bergeremang. Melewati meja – meja yang memisahkan dua orang yang saling berhadap – hadapan dengan tatapan mata mesra. Aku terus bergerak, berjalan, tenggorokan-ku makin panas, langkahku mulai goyah dan lututku semakin gemetar.
Di salah satu meja, aku melihatnya memakai gaun berwarna merah hati. Rambutnya yang pendek membuatku melihat tengkuknya lembut. Disana, aku merasa pernah bersemayam, aku merasa pernah bersemayam dalam damai. Aku mendekatinya. Ia diam. Bergeming. Agak menunduk dengan tangan kanan memegang gelas minuman berisi cairan sewarna gaun yang dikenakannya. Aku duduk di kursi menghadapinya. Aku melihat leher jenjangnya, aku seperti pernah tergeletak dan tiduran dalam rasa malas yang menentramkan di lehernya. Leher yang lebih kupilih untuk mengistirahatkan diri dibanding segala peraduan yang tersedia. Ia tetap menunduk.
Kembali aku diserang oleh rasa kering di tenggorokanku. Aku mengambil botol minuman diatas meja dan cepat kutenggak. Tapi tidak ada cairan yang keluar dari lubang botol itu dan masuk ke tubuhku. Aku panik. Aku menyahut gelas yang dipegangnya. Ia bergeming. Gelas dan tangannya seperti terpasung diatas meja yang gilap itu. Aku berusaha keras merebut gelasnya. Tapi tiba – tiba seekor kupu – kupu bersayap gelap terbang mengitari kepalanya yang tertunduk. Kupu – kupu itu masih menebarkan serbuk – serbuk hitam yang menyakitkan. Aku bertahan dengan semakin menggenggam erat tangannya yang sedang menggenggam erat gelas.
Kupu – kupu itu akhirnya hinggap di belahan rambutnya. Kupu – kupu itu diam seperti memanjatkan doa. Tiba – tiba suasana menjadi sepi. Tidak ada lagi suara musik yang hingar, tidak ada lagi suara bergeremang. Aku merasa semua mata memandang kami. Aku merasa mereka mendekat, tanpa suara mengitari kami. Aku merasa bahwa aku, dia, dan kupu – kupu yang hinggap di belahan rambutnya menjelma menjadi sebuah lukisan indah yang membuat mereka semua tertegun. Aku merapatkan genggamanku ke tangannya yang sedang menggenggam sebuah gelas yang berisi cairan sewarna gaunnya. Semakin erat, semakin erat. Dan gelas itu meledak. Serpihan gelas itu menancap pedih di wajahku. Kupu – kupu itu mengejang. Kaku. Lalu jatuh diatas meja. Orang – orang kembali bergeremang. Musik kembali menghentak. Ia tetap menunduk. Tubuhku semakin panas. Kali ini mengembang, melar, jauh keluar dari ruang seperti balon yang ditiup, seperti kosmos yang terus memuai. Ada ledakan lagi. Sangat keras. Dari tubuhku. Dari ruang itu.
Aku melihat ruang yang berantakan. Kini aku yakin, bahwa aku sudah benar – benar terjaga dari mimpi yang menyesakkan itu. Meja dan kursi jumpalitan. Gelas minuman tersebar. Piring makan memuntahkan isisnya yang belum kusentuh. Aku sudah ada di lantai. Semua sudah menyempurnakan diri di lantai. Seprei dan selimut basah terkena ceceran kotoran dan cairan yang tumpah dari botol, gelas, dan berbau cairan tonikum. Aku menyahut kitab suci yang lingsut, memebukanya pada halaman yang telah kutandai dengan tangan dan hati. Merapal dan membaca doa-doa yang ada didalamnya. Tangan kiriku mengambil botol yang masih berisi air mineral, menenggaknya, melanjutkan membaca doa, menumpahkan sisa air mineral di kepalaku. Dunia kenangan yang kejam.
Aku bangkit. Menyambar telpon, berurutan, agen perjalanan, partner kerjaku dan Mas Hardi. Telpon kututup. Meja telepon basah. Kubuka pintu kamar mandi, memaksa tubuhku diguyur dengan air. Perih disana – sini. Tapi aku harus kuat. Harus. Toh kejadian seperti ini telah kulewatkan selama bertahun – tahun.
Mendatangiku. Menikam ngilu. Memaksaku untuk menyerah pada hidup Memaksaku untuk mengaku kalah pada masa lalu. Beberapa potong pakaian kusambar dan kumasukkan dalam tas kecil. Kutelpon taksi. Kunyalakan salah satu puntung rokok yang tergeletak digulung abu yang mengotori lantaiku. Kututup pintu. Menguncinya dari luar. Mulutku terasa hambar dan panas, juga asin oleh darah yang sesekali masih keluar. Entah karena apa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar